Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama absen dari dunia pendakian, saya berkesempatan menengok puncak Merapi yang dikabarkan telah berubah total permukaannya. Melewati rute barat yang dikenal dengan Jalur Babadan, tanggal 16 Agustus 2012 yang lalu saya menyusuri hampir seperempat lingkar Merapi yang memakan waktu hingga 6 jam ke puncak, dan berikut kondisi jalur pendakian Merapi menurut pengalaman saya.
Pada perjalanan 2 jam pertama, kondisi jalur Babadan masih seperti yang dulu, tidak mengalami perubahan yang berarti. Ladang cabai dan tembakau masih menjadi pemandangan umum sebelum masuk ke vegetasi hutan pinus kecil. Debu sisa letusan sebelumnya masih terlihat bekasnya namun tidak terlalu tebal karena terguyur air hujan beberapa waktu yang lalu.
Rute sedikit berubah ketika kita sampai di barat laut Merapi. Aliran lahar 1998 yang dulunya penuh dengan material dan memungkinkan kita menyeberang dengan aman berubah menjadi medan terjal yang menuntut pendaki mengambil rute turun ke kiri dan ekstra hati-hati, karena harus menuruni dan menaiki bibir aliran lahar yang curam dengan bebatuan yang relatif masih labil. Bahkan ketika berada di tengah aliran lahar tersebut, kita harus bergerak cepat karena sisa-sisa lahar dingin yang berupa pasir dan bebatuan dapat saja longsor menutupi jalur.
Setelah aliran lahar tersebut, jalan setapak kecil mulai tertutup semak-semak namun tetap menyuguhkan jalur pendakian yang khas. Pemandangan tersebut nampaknya masih sama seperti kondisi sebelum erupsi tahun 2006 dan 2010 yang lalu. Hingga Pasar Bubrah, jalan setapak jalur Babadan masih dapat dikenali dengan baik dan tetap menyugukan pengalaman pendakian yang tak terungkapkan.
Perubahan besar akan terlihat ketika memasuki Pasar Bubrah. Bebatuan yang dulunya berserakan seakan tinggal menyisakan beberapa titik inti sebagai penanda. Terlebih jalur ke puncak, pasir labil yang kadang menyuguhkan debu-debu tipis ketika tertiup angin memaksa pendaki mengambil rute memutar kekiri dan menyusuri bebatuan labil menuju ke puncak.
Setelah di puncak, pemandangan baru seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendaki. Kekokohan Puncak Garuda telah sirna ditelah erupsi dahsyat beberapa waktu yang lalu, dan menyisakan bibir kawah yang sangat sempit, bahkan untuk berlindung dari terpaan angin sekalipun. Kawah mati yang dulunya populer di kalangan pendaki menjadi jurang yang sangat dalam hingga ratusan meter.
Sedikit ke kanan, bebatuan besar yang dulunya dipasangi beragam alat pemantauan juga nampak telah berubah bentuk. Meski masih menyisakan spot-spot yang cukup luas, kelabilan batu dan kawah yang super aktif menjadikan lokasi puncak Merapi sangat menantang dan menyimpan sejuta risiko.
Dengan kondisi puncak tersebut, kita tidak dianjurkan untuk berlama-lama disana, dan diharapkan segera turun menuju jalur Selo. Meski cukup terjal dan licin, jalur Selo masih menawarkan rute yang paling cepat ke desa terakhir. Kondisi medan yang tidak terlalu banyak berubah membuat jalur ini cukup aman dilalui namun masih menyimpan debu-debu yang siap membuat kita belepotan, terlebih jika musim hujan tiba.
Itulah sedikit gambaran tentang jalur pendakian Merapi versi Blogger Gundul. Jika sobat ingin melakukan pendakian ke gunung yang sangat aktif ini, cek status terakhir dan koordinasikan dengan Tim SAR setempat. Selamat mendaki dan salam rimba!
gak ngeri pho mas ndaki ampe puncak gunung teraktif di Indonesia. Ngeri deh.. hahaha... :D
BalasHapusane cukup liat dari kaliurang atau kinahrejo saja. :D
@Dhimas Kirana: Asal hati-hati gpp Sob, ada sebuah kerinduan mendalam untuk melihat lebih dekat kondisi puncak Merapi pasca erupsi...Makasih dah berkunjung. Salam blogging.
BalasHapus