Ketika tiba Hari Senin,
sebagian dari kita tentu teringat kembali dengan ungkapan “I Hate Monday.”
Kalimat sederhana yang memiliki arti mendalam ini sering kita dengar terucap
dari rekan kerja ketika Senin tiba, dan kita kembali ke rutinitas harian yang
kadang sangat melelahkan. Setujukah Anda dengan ungkapan ini?
Kalimat “I Hate Monday”
sendiri konon berasal dari para pekerja penyortir bulu domba yang alergi
terhadap bulu domba. Setiap kali hari kerja dimulai kembali, yang berawal dari
Hari Senin, mereka harus rela menahan penyakit asma karena alergi tersebut. Selanjutnya,
hari Senin atau Monday Disease
sebagai pencetus kalimat I Hate Monday yang dulunya hanya “menimpa” para
pekerja tersebut saat ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menimpa manusia
dengan beragam profesi.
Bagi saya sendiri, apapun
harinya adalah berkah dan harus dijalani dengan penuh rasa syukur. Mencuplik
pemikiran Arvan Pradiansyah dalam bukunya Life
Is Beautiful, kita akan melihat dunia ini sesuai dengan kacamata yang kita
pakai. Jika kacamata atau jendela kita kotor, tentu semua yang kita lihat akan
nampak buram. Sebaliknya, jika kacamata atau jendela tersebut bersih tak
bernoda, tentu pemandangan yang kita lihat nampak jernih dan menyenangkan.
Arvan pribadi berpendapat
bahwa positive thinking menjadi modal
utama dalam melihat dunia yang kita huni, dan mensyukurinya sebagai anugrah
sekaligus amanah dari Tuhan. Itulah sebuah pemikiran yang selama ini menjadi
salah satu dasar saya untuk menjauhkan kalimat “I Hate Monday,” dari keseharian
saya. Yang lebih utama, tentu rasa
syukur lah yang akan menggiring kita untuk menikmati semua hari, sekalipun Hari
Senin, dan berbuat sesuatu yang terbaik bagi diri pribadi, keluarga, dan semua
orang di sekeliling kita.
Masih setuju dengan kalimat “I
Hate Monday?” The world will be as you think. Happy Working…
0 komentar:
Posting Komentar