Secercah harapan itu muncul
ketika saya mulai memainkan jemari ini diatas papan ketik, harapan untuk dapat
membagi segala pengalaman hidup di dunia yang terlalu sempit untuk sebuah
cita-cita ini. Sebelumnya, perkenankan saya memperkenalkan diri. Diiringi doa
dan harapan pula, orang tua mengamanahkan nama Majid Efendi kepada saya, nama yang sangat mendalam arti dan
pemaknaannya, yang ternyata juga unik dan jarang saya temui di jagat raya ini.
Saya dilahirkan di sebuah desa di
Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul pada era 70an, ketika listrik dan aspal
belum menyentuh lingkungan saya. Kala itu, saya adalah anak ketiga dari tiga
bersaudara sehingga menjadi si bungsu dalam keluarga, meski enam tahun
kemudian, status itu berubah ketika Allah menganugerahkan adik bagi saya. Mulai
saat itu pula, kami hidup berenam dalam sebuah rumah sederhana semi permanen
hasil jerih payah kedua orang tua selama lebih dari 15 tahun.
Masa kecil yang penuh dengan
kesederhanaan saya lalui bersama teman-teman sebaya di desa yang bagi saya
cukup udik namun tetap mampu memberi warna bagi semua warganya. Pendidikan
tingkat Sekolah Dasar saya jalani di desa tersebut dengan segala kepolosan
sebagai seorang anak desa. Bermain layang-layang, mancing di sungai, hingga
bermain bola plastik menjadi keseharian saya setelah menjalankan kewajiban
sekolah di masa kecil itu.
Beberapa tahun kemudian, saya
mencoba merubah kebiasaan hidup dengan melanjutkan Sekolah Lanjutan Pertama di
kota kecamatan sebelah, Paliyan namanya. Meski dengan perjuangan yang bagi saya
cukup berat karena harus belajar dengan penerangan lampu minyak, bangun
pagi-pagi sekali agar tidak ketinggalan angkudes, hingga bergelantungan di kaca
mobil tersebut untuk menempuh jarak 6 kilometer menuju ke SMP N I Paliyan, saya
bulatkan tekad untuk tetap menjalani masa transisi sebagai anak desa yang ingin
tahu kehidupan kota.
Tiga tahun kemudian, saya lulus
Sekolah Menengah Pertama dengan hasil yang sangat memuaskan, yang selanjutnya
memotivasi saya untuk melanjutkan studi di kota yang lebih besar, bukan kota
kabupaten namun ibu kota provinsi, Yogyakarta. Saya harus mengakui bahwa
persaingan di kota sebesar Yogyakarta sedemikian ketat bagi seorang anak udik
seperti saya sehingga akhirnya saya harus puas didepan dari pendaftaran SMK
Negeri dan meneruskan studi di sekolah swasta.
Tiga tahun menjalani status sebagai siswa SMK swasta,
saya menemukan kebimbangan karena semangat untuk studi masih membara sementara
pada dasarnya, siswa SMK dipersiapkan untuk siap terjun ke dunia kerja.
Sejumlah buku teori harus saya kuasai untuk bisa lulus dalam UMPTN, tes untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri waktu itu. Sudah bisa ditebak,
waktu 1 bulan tentunya sangat cepat bagi saya untuk melahap semua teori dan hasilnya
pun, saya tidak lulus UMPTN waktu itu. Akhirnya, menjadi mahasiswa Diploma III sebuah
universitas negeri ternama di Kota Yogyakarta menjadi alternatif saya kala itu.
Setahun kemudian, UMPTN kedua
saya jalani dan menghantarkan saya menjadi mahasiswa program sarjana universitas
negeri lainnya di tahun 2000. Dua status saya jalani sebagai mahasiswa Diploma
III Bahasa Inggris di sebuah universitas sekaligus mahasiswa S1 di universitas
lainnya, sebuah aktivitas yang sangat melelahkan bukan hanya bagi saya namun
juga orang tua yang membiayai saya. Hingga akhirnya, tahun 2002 saya lulus
menjadi Ahli Madya namun tetap setia dengan status mahasiswa S1. Beban kuliah
yang lebih ringan mendorong saya untuk mencari pekerjaan sampingan, baik
sebagai tentor privat, penerjemah lepas, hingga pemandu wisata.
Itulah sekelumit cerita tentang
perjalanan hidup saya yang tentunya tidak akan cukup saya tulis dalam satu hari
jika saya teruskan. Yang jelas, saat ini saya mendapatkan anugerah sekaligus
amanah untuk bekerja di Gunungkidul dan membangun sebuah keluarga di Kota
Thiwul ini. Meski tidak selalu online, saya dapat dihubungi melalui email di bloggergundul@gmail.com.
0 komentar:
Posting Komentar